Etika Profesi Akuntansi

Jumat, 26 September 2014


Pengertian Etika
Kata etika seringkali disebut dengan kata etik, atau ethics (bahasa Inggris) yang mengandung banyak pengertian.

Dai segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin "Ethicos" yang berarti kebiasaan. Dengan demikian, menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun, pengertian ini berubah yaitu etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.

Etika juga disebut ilmu normatif, maka dengan sendirinya berisi ketentuan-ketentuan (norma-norma) dan nilai-nilai yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Etika merupakan cabang filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral, atau filsafat susila. Dengan demikian, dapat dikatakan etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk. Etika adalah penyelidikan filsafat bidang moral. Etika tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar.

Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
  1. Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian perbuatan seseorang.
  2. Etika dalam ati perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.
  3. Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Dari sudut pandang Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1988), merumuskan pengertian etika dalam tiga arti, antara lain :
  1. Ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral.
  2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
  3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut masyarakat.
Fagothey (1953), mengatakan bahwa etika adalah studi tentang kehendak manusia, yaitu kehendak yang berhubungan dengan keputusan yang benar dan yang salah dalam tindak perbuatannya. Pada tahun 1955, Sumaryono menegaskan bahwa etika merupakan studi tentang kebenaran dan ketidakbenaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia dalam perbuatannya.

Bartens (1994), menjelaskan bahwa etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan, atau adat kebiasaan. Bentuk jamaknya adalah ta etha artinya adat kebiasaan, dari bentuk jamak inilah terbentuk kata etika oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC) dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul kata tersebut etika berarti ilmu tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.


Prinsip-Prinsip Etika Profesi
Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan kode etik untuk masing-masing profesi. Kode erik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi.
  1. Prinsip Tanggung Jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya.
  2. Prinsip Keadilan. Prinsip ini menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi, termasuk dalam hal membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar mutu pelayanannya terhadap siapapun, termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya.
  3. Prinsip Otonomi. Prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun, otonomi ini juga memiliki batasan, yaitu prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Otonomi ini berlaku sejauh tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, termasuk kepentingan umum.
  4. Prinsip Integritas Moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah orang yang memiliki integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena ia mempunya komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya, dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya.


Basis Teori Etika
  1. Etika Teleologi
Teologi berasal dari kata Yunani "telos" yaitu tujuan, berarti mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dua aliran etika teologi, yaitu: 
           a.    Egoism Etis
Inti pandangan egoism adalah tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonitis, yaitu ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai kenikmatan fisik yang bersifat vulgar.

b.    Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin “utilis” yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran utilitarianisme, criteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar. Utilitarianisme, teori ini cocok sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis. Utilitarianisme dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1)    Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
2)    Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Utilitarianisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan-aturan moral.

  1. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani "deon" yang berarti kewajiban. "Mengapa perbuatan itu baik dan perbuatan itu harus ditolak sebagai buruk". Deontologi menjawab :" Karena perbuatan pertama menjadi kewajiban dan karena perbuatan kedua dilarang". Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang meupakan salah satu teori atika yang terpenting. Ada tiga prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
  1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.
  2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu, melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan itu. Berarti, meskipun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
  3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hokum moral universal.
Bagi Kant, hukum moral ini dianggapnya sebagai peritah tak bersyarat (imperative kategoris), yang berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat. Perintah tak bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak.

  1. Teori Hak
Dalam pemikiran moral sekarang ini, teori hak adalah pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak merupakan suatu aspek dari deontologi karena berkaitan dengan kewajiban . Hak dan kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hal ini disadarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu, hak sangat ocok dengan suasana pemikiran demokratis.

  1. Teori Keutamaan (Virtue)
Teori ini memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan apakah suatu perbuatan tertentu asli, jujur, atau murah hati dan sebagainya. Sedangkan keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik seara moral.



Egoisme
Kata "egoisme" merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin yakni ego, yang berasal dari kata Yunani kuno yang masih digunakan dalam bahasa Yunani modern "ego" yang berarti "diri' atau "saya" dan "isme" digunakan untuk menunjukkan sistem kepercayaanya. Dengan demikian, istilah ini secara etimologis berhubungan sangat erat dengan egoisme filosofis.

Teori egoisme atau egotisme diungkapkan oleh Friedrich Wilhelm Nietche yang merupakan pengkritik keras utilitarianisme dan juga kuat menentang teori Kemoralan Sosial. Teoi egoisme berprinsip bahwa setiap orang harus bersifat keakuan, yaitu melakukan sesuatu bertujuan memberikan manfaat kepada diri sendiri. Selain itu, setiap perbuatan yang memberikan keuntungan merupakan perbuatan yang baik dan satu perbuatan yang buruk jika merugikan diri sendiri.

Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan dii sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah suatu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". 

Egoisme adalah cara untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri, dan umumnya memiliki pendapat untuk meningkatkan citra pribadi seseorang dan pentingnya intelektual, fisik, sosial, dan lainnya. Egoisme ini tidak memandang kepedulian terhadap orang lain maupun orang banyak pada umumnya dan hanya memikirkan diri sendiri.

Egois ini memiliki rasa yang luas biasa dari sentralitas dari "aku adalah". Kualitas pribadi mereka. Egotisme berarti menempatkan diri pada inti dunia seseorang tanpa kepedulian terhadap orang lain, termasuk yang dicintai atau dianggap sebagai "dekat", dalam lain hal, kecuali yang ditetapkan oleh egois itu.


Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :

  1. Pengendalian diri
Pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaanya juga harus memperhatikan konsiai masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang “etis”.

  1. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk “uang” dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya, sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepeduliaan bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.




0 komentar:

Posting Komentar