WHISTLE BLOWING
Whistle blowing adalah
tindakan seorang pekerja yang memutuskan untuk melapor kepada media, kekuasaan
internal atau eksternal tentang hal-hal ilegal dan tidak etis yang terjadi di
lingkungan kerja.
Hal ini merupakan isu
yang penting dan dapat berdampak buruk, baik kepada individu tersebut maupun
organisasi yang dilaporkan (Vinten, 1994). Menurut Vardi dan Wiener (1996),
tindakan ini termasuk tindakan menyimpang karena menyalahi aturan inti pekerjaan
dalam perusahaan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Sedangkan menurut
Moberg (1997) tindakan ini dikategorikan sebagai pengkhianatan terhadap
perusahaan.
Whistle Blowing dalam
perusahaan (misalnya atasan) dapat disebut sebagai perilaku menyimpang tipe O jika
termotivasi oleh identifikasi perasaan yang kuat terhadap nilai dan misi yang
dimiliki perusahaan, dengan kepedulian terhadap kesuksesan perusahaan itu
sendiri. Sedangkan tindakan whistle blowing yang bersifat ”pembalasan
dendam” dikategorikan sebagai perilaku menyimpang tipe D karena ada
usaha untuk menyebabkan suatu bahaya. Sementara itu, beberapa peneliti
menganggap whistle blowing sebagai suatu bentuk tindakan
kewarganegaraan yang baik (Dworkin & Nera, 1997), harus didorong dan bahkan
dianugerahi penghargaan. Namun, whistle blowing biasanya dipandang sebagai
perilaku menyimpang. Para atasan menganggapnya sebagai tindakan yang merusak
yang kadang berupa langkah pembalasan dendam yang nyata (Near & Miceli,
1986). Para atasan berpendapat bahwa pada saat tindakan yang tidak etis
terungkap, maka mereka harus berhadapan dengan pihak intern mereka sendiri.
Penelitian Near & Miceli mengungkapkan bahwa whistle blower lebih
memilih melakukan aksi balas dendam apabila mereka tidak mendapat dukungan yang
mereka inginkan dari atasannya, insiden yang terjadi tergolong serius, dan
menggunakan sarana eksternal untuk melaporkan kesalahan yang ada.
Miceli & Nera
(1997) memandang whistle blowing sebagai antisocial OB. Antisocial OB
adalah tindakan intens yang bersifat membahayakan yang dilakukan anggota
organisasi terhadap individu, kelompok, atau organisasi. Untuk perilaku whistle
blowing yang diklasifikasikan kedalam golongan ini harus dipastikan
tingkat bahaya yang dihasilkan. Perilaku ini sejalan dengan OMB tipe D, yang
juga dianggap sebagai aksi balas dendam.
De George (1986)
menetapkan tiga kriteria atas whistle blowing yang adil. Pertama
organisasi yang dapat menyebabkan bahaya kepada para pekerjanya atau kepada
kepentingan publik yang luas. Kedua, kesalahan harus dilaporkan pertama kali
kepada pihak internal yang memiliki kekuasaan lebih tinggi, dan ketiga, apabila
penyimpangan telah dilaporkan kepada pihak internal yang berwenang namun tidak
mendapat hasil, dan bahkan penyimpangan terus berjalan, maka pelaporan
penyimpangan kepada pihak eksternal dapat disebut sebagai tindakan
kewarganegaraan yang baik.
ALASAN TERJADINYA
WHISTLE BLOWING
Perilaku whistle
blowing berkembang atas beberapa alasan, yaitu :
- Pergerakan dalam perekonomian yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan, keahlian, dan kepedualian sosial dari para pekerja.
- Keadaan ekonomi sekarang telah memberi informasi yang intensif dan menjadi penggerak informasi.
- Akses informasi dan kemudahan berpublikasi menuntun whistle blowing sebagai fenomena yang tidak bisa dicegah atas pergeseran perekonomian ini (Rothschild & Miethe, 1999).
Perilaku whistle
blowing dapat terjadi sebagai akibat dari penanaman nilai yang kuat atas
suatu organisasi, mencakup bagaimana dan apa nilai-nilai serta budaya yang
terdapat dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pengaruh sosial dan budaya organisasi merupakan pengaruh yang kuat terhadap
terjadinya whistle blowing.
CREATIVE ACCOUNTING
Semua proses dimana
beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman pengetahuan akuntansi (termasuk
di dalamnya standar, teknik, dll) dan menggunakannya untuk memanipulasi
pelaporan keuangan (Amat, Blake dan Dowd, 1999).
Berbagai macam pola
yang dilakukan dalam rangka ‘creative accounting’ menurut Scott [1997] sebagai
berikut:
- Taking Bath, atau disebut juga ‘big bath’. Pola ini dapat terjadi selama ada tekanan organisasional pada saat pergantian manajemen baru yaitu dengan mengakui adanya kegagalan atau defisit dikarenakan manajemen lama dan manajemen baru ingin menghindari kegagalan tersebut. Teknik ini juga dapat mengakui adanya biaya-biaya pada periode mendatang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan yang tidak bisa dihindari pada periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen melakukan ‘pembersihan diri’ dengan membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang dan melakukan ‘clear the decks’. Akibatnya laba periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
- Income minimization. Cara ini mirip dengan ‘taking bath’ tetapi kurang ekstrem. Pola ini dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapatkan perhatian oleh pihak-pihak yang berkepentingan (aspek political-cost). Kebijakan yang diambil dapat berupa write-off atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan biaya iklan, biaya riset dan pengembangan, metode successfull-efforts untuk perusahaan minyak bumi dan sebagainya. Penghapusan tersebut dilakukan bila dengan teknik yang lain masih menunjukkan hasil operasi yang kelihatan masih menarik minat pihak-pihak yang berkepentingan. Tujuan dari penghapusan ini adalah untuk mencapai suatu tingkat return on assets yang dikehendaki.
- Income maximization. Maksimalisasi laba dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, dimana laba yang dilaporkan tetap dibawah batas atas yang ditetapkan.
- Income smoothing. Perataan laba merupakan cara yang paling populer dan sering dilakukan. Perusahaan-perusahaan melakukannya untuk mengurangi volatilitas laba bersih. Perusahaan mungkin juga meratakan laba bersihnya untuk pelaporan eksternal dengan maksud sebagai penyampaian informasi internal perusahaan kepada pasar dalam meramalkan pertumbuhan laba jangka panjang perusahaan.
- Timing revenue and expense recognition. Teknik ini dapat dilakukan dengan membuat kebijakan tertentu berkenaan dengan saat atau timing suatu transaksi seperti adanya pengakuan yang prematus atas penjualan.
FRAUD ACCOUNTING
Fraud adalah
tindakan curang yang dilakukan sedemikian rupa sehingga menguntungkan
diri-sendiri/kelompok atau merugikan pihak lain (perorangan, perusahaan atau
institusi). Fraud mengandung beberapa unsur, yaitu:
- Tindakan yang disengaja
- Kecurangan
- Keuntung pribadi/kelompok atau kerugian di pihak lain
Jenis-jenis Fraud berdasarkan Association
of Certified Fraud Examiners(ACFE), internal fraud (tindakan penyelewengan di
dalam perusahaan ata institusi) dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yakni:
- Fraud terhadap Asset. Penyalahgunaan aset perusahaan (institusi), entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan pribadi—tanpa ijin dari perusahaan. Seperti kita ketahui, aset perusahaan bisa berbentuk kas (uang tunai) dan non-kas. Sehingga, asset misappropriation dikelompokan menjadi 2 macam, yaitu Cash Misappropriation (Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas) dan Non-Cash Misappropriation (Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas.
- Fraud terhadap Laporan Keuangan. ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a) financial; dan (b) non-financial.
- Korupsi. ACFE membagi jenis fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: konflik kepentingan, dan menyuap atau menerima suap, timbal-balik.
CONTOH KASUS FRAUD
ACCOUNTING
Kasus
Penggelapan Uang di PT. asian Agri Abadi Oils & fats LTD
Sebenarnya saat ini,
berita yang sedang marak adalah kasus mengenai penggelapan pajak yang dilakukan
oleh Asian Agri Group (Asian Agri). Modus operandi yang dilakukan oleh Asian
Agri adalah dengan cara menggelembungkan biaya perusahaan sebesar Rp. 1,5
tiliun, membengkakkan kerugian transaksi ekspor sebesar Rp. 232 Miliar, serta
mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp. 889 miliar. Hal tersebut menyebutkan
Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajaknya fiktif dan mengakibatkan kerugian
untuk negara yang untuk sementara diperkirakan mencapai 30% dari total biaya
fiktif yang mencapai Rp. 2,62 triliun atau sebesar Rp. 786,3 miliar.
Kasus dugaan
penggelapan pajak Asian Agri tersebut di atas di ungkapkan oleh karyawannya,
Vincentius Amin Sutanto(vincent), karena Asian Agri terus mengejar Vincent atas
kasus penggelapan uang Asian Agri sebesar Rp. USD 3,1 juta atau sekitar Rp. 30
miliar. Vincent adalah mantan Financial Controller Asian Agri Group – induk
usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas (RGM), milik Sukanto Tanoto- orang
terkaya di Indonesia tahun 2006 versi majalah forbes. Asian Agri bergerak di
bidang perkebunan kelapa sawit, coklat, dan karet.
Modus operandi yang
dilakukan Vincent, yang merupakan otak pelaku kejahatan, adalah dengan
mendirikan PT fiktif dan rekening fiktif. Dia bekerja sama dengan kedua
temannya yang dikenalnya ketika mengambil gelas MBA di Amerika, yaitu Hendri
Susilo dan AFS yang membuat akta pendirian perusahaan yaitu PT Asian Agri Jaya
dan PT Asian Agri Utama. Vincent berjanji akan memberikan 10% keuntungan kepada
temannya tersebut. Perusahaan tersebut kemudian membuka rekening di sebuah bank
di Indonesia yang digunakan untuk menampung uang hasil kejahatannya. Pada
tanggal 13 November 2006, Vincent membuat dua lembar aplikasi pengiriman uang
PT Asian Agri Oils and Fats Ltd, yang tersimpan di rekening Fortis Bank Singapore. Surat itu berisi permintaan
agar bank mentransfer USD 1,2 juta ke rekening PT Asian Agri Utama dan USD 1,9
juta ke rekening PT Asia Agri Jaya di Panin Bank. Aplikasi ini dibuat dan
ditandatangani Vincent dengan memalsukan tanda tangan dua pejabat tingi
perusahaan di Singapura. Kemudian pada tangga 15 November 2006, uang tersebut
ditransfer ke rekening Bank Panin milik PT Asian Agri Jaya yang didirikan oleh
Hendri. Sehari kemudian perusahaan di Singapura mengecek transfer tadi,
ternyata anak perusahaan di Jakarta tidak menerima uang tersebut, yang menerima
malah perusahaan lain (yang didirikan Hendri). Kemudian Asian Agri pun
melaporkan keganjilan tersebut kepada polisi dan rekening untuk penampung
transfer tersebut ketahuan dan diblokir, padahal Vincent baru mengambil Rp. 200
juta.
Asian Agri yang
dibantu polisi, sudah keburu mengendus aksinya dan melakukan pengejaran,
Vincent lalu melarikan diri ke Singapura. Sebagai salah satu akuntan top di
Asian Agri, Vincent memiliki banyak dokumen penting yang hendak dijadikan
senjata agar pihak Asian Agri mau mengampuninya dan tidak membawa kasus
tersebut ke polisi. Namun, pihak Asian Agri terus mengejarnya, akhirnya Vincent
memutuskan untuk menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya dan melaporkan kasus
dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh Asian Agri, sehingga pihak Asian
Agri pun harus berurusan dengan polisi dan Direktorat Jenderal Pajak.
0 komentar:
Posting Komentar